Alamut Stories - Part 8

Projek Alamut
4 min readDec 11, 2023

--

Halima mengangguk padanya dan kemudian pergi ke kebun dengan gadis-gadis lain untuk menyapu dan menenun. Sara menuntun Halima ke bak mandi untuk mencuci rambutnya. Halima menyisir rambutnya,, kemudian dia membuka pakaiannya sampai ke pinggang. Tangannya sedikit gemetar ketika dia melakukan hal ini, membuatnya sedikit tidak nyaman, tapi dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.

"Jadi siapa sebenarnya Tuan kami?" tanyanya. Rasa ingin tahunya akhirnya mendapatkan jawaban. Halima menyadari bahwa dia memegang kuasa atas Sara, meskipun ia tidak tahu mengapa.

"Aku akan menceritakan semua yang aku tahu," katanya, suara Sara bergetar aneh. "Tapi kau sebaiknya tidak mengatakan kalau informasi ini dariku. Kau berjanji?"

"Setuju"

"Kau lihat, kita semua milik Sayyidina, yang berarti Tuan kami. Dia orang yang sangat, sangat kuat. Yang bisa aku katakan adalah…"

"Katakan padaku! Katakan padaku!"

"Mungkin kau tidak akan pernah melihat dia. Aku dan beberapa orang lain telah di sini selama satu tahun. Tapi kami belum pernah sekali pun bertemu dengannya."

"Apakah pembicaraan ini tentang Tuan Kami?"

"Bersabarlah. Aku akan menjelaskan semuanya. Apakah kau tahu siapa yang kita hormati setelah Allah?"

"Khalifah."

"Bukan. Dan, bahkan bukan Sultan. Sayyidina adalah yang kita hormati setelah Allah."

Halima terbelalak dan menggigil karena takjub. Ia seolah-olah sedang mengalami dongeng dari Seribu Satu Malam, hanya saja kali ini ia tidak hanya sedang mendengarkan dongeng itu, tetapi berada di situasi yang ada di dalamnya.

"Kau tadi mengatakan bahwa tidak satu pun dari kalian pernah melihat Sayyidina?"

Sara membungkuk. Wajahnya diturunkan sampai lebih rendah dari telinga Halima.

"Tidak juga. Salah satu dari kami mengenalnya. Tapi tak seorang pun boleh mengetahui kalau kita sedang berbicara tentang hal ini."

"Aku akan diam membatu. Jadi, siapa sebenarnya yang perna bertemu dengan Sayyidina?"

Halima seakan sudah mengetahui siapa orang yang dimaksud. Ia hanya menginginkan konfirmasi.

"Miriam," bisik Sara. "Keduanya dekat. Tapi sebaiknya kau tidak mengatakan informasi ini berasal dariku."

"Aku tidak akan berbicara tentang hal ini pada siapa pun."

"Kau harus sepertiku sekarang, seperti aku yang sangat percaya padamu."

Rasa ingin tahu menyiksanya, Halima bertanya, "Siapa wanita tua yang kami temui di depan rumah, kemarin?"

"Apama. Tapi, membicarakannya akan berbahaya daripada membicarakan tentang Miriam. Miriam baik dan menyukai kita, tapi Apama kejam dan membenci kita. Dia juga mengetahui Sayyidina dengan baik. Tapi hati-hati, jangan biarkan orang lain mengetahui kalau kau mengetahui banyak hal."

"Tidak, Sara. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

Sara mencuci rambut Halima lebih cepat. "Kau begitu manis," bisiknya. Halima malu tapi pura-pura tidak mendengar apa-apa. Ada begitu banyak hal yang ingin ia ketahui.

"Siapa Adi?" tayanya.

"Dia seorang Kasim."

"Apa itu, Kasim?"

"Seorang pria yang bukan benar-benar pria."

"Apa artinya?"

Sara mulai menjelaskan kepadanya secara lebih rinci, tapi Halima menolak penjelasan lebih lanjut karena merasa terganggu.

"Aku tidak ingin mendengar tentang hal itu."

"Kau nanti akan mendengar banyak hal yang serupa seperti penjelasanku."

Selesai mencuci rambut Halima, Sara mulai memijat kulit kepala Halima dengan minyak wangi. Lalu ia menyisir rambut Halima. Sara kemudian membawanya dari kamar kecil ke tempat terbuka, sehingga sinar matahari bisa membuat rambutnya lebih cepat kering. Sekelompok gadis-gadis yang sedang menyiangi bibit bunga di dekatnya melihat mereka dan mendekat.

"Kemana saja kalian berdua selama ini?" tanya mereka.

Halima menundukkan pandangan matanya, tetapi Sara memilih untuk menjawab pertanyaan itu.

"Kalau saja kau melihat betapa kotornya rambut anak menyedihkan ini! Ia seperti tidak pernah sekalipun mencuci rambut dalam hidupnya. Aku hampir-hampir tidak bisa menata rambutnya, tapi dia akan membutuhkan setidaknya sekali cuci rambut secara menyeluruh sebelum kita benar-benar bisa menata rambutnya sesuai keinginan kita."

Syukurlah Miriam tidak ada disini, pikir Halima. Dia pasti akan melakukan hal buruk sesuai kehendak hatinya, dan jika dia mulai menanyakan berbagai hal, Halima pasti tidak akan mampu melawannya. Dia melihat bahwa dirinya tidak bisa menepati janjinya untuk tidak mengajukan pertanyaan bahkan untuk satu hari.

Ketika gadis-gadis lain pergi, Sara menegurnya. "Jika kau berperilaku seperti itu, semua orang akan mengira kalau kau menyembunyikan rahasia. Kau harus bertingkah seperti kau tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, tidak ada yang akan mulai mencurigaimu… Aku akan bergabung dengan yang lain, tetapi kau tetap tinggal di sini, di bawah sinar matahari, dan biarkan rambutmu mengering."

Halima sekarang sendirian untuk pertama kalinya sejak ia tiba di dunia aneh ini. Dia tidak benar-benar tahu apa-apa mengenai tempatnya berada atau apa perannya nantinya. Yang ia dapati adalah dia kini dikelilingi oleh misteri. Tapi bukannya tidak sepenuhnya menyenangkan. Justru sebaliknya. Dia telah menemukan keseimbangan diri di dunia dongen ini. Untuk satu hal, ada bannya hal menarik untuk imajinasinya. Sepertinya akan lebih baik kalau aku berpura-pura bodoh, pikirnya.

#To-be-continue

Previous | Next

–**Credit**--

Ditulis pada : Senin, 11 Desember 2023

Halaman : 27 - 29

--

--

Projek Alamut
Projek Alamut

No responses yet