Alamut Stories - Part 6
"Pastinya. Apakah kalian semua mandi setiap hari?" tanya Halima heran.
"Tentu saja!" dua gadis lainnya tertawa.
Mereka kemudian memandikan Halima di sebuah bak kayu dan memercikkan air padanya. Halima menjerit, kemudian mengeringkan tubuhnya dengan handuk, lalu mengenakan pakaiannya dengan perasaan senang dan segar.
Mereka kemudian sarapan di ruang makan yang panjang. Masing-masing memiliki tempat sendiri. Halima menghitung ada dua puluh empat orang di ruangan itu, termasuk dirinya sendiri. Mereka mendudukannya di sebelah, yang memintanya untuk duduk di situ.
"Jadi apa yang kau bisa kerjakan?"
"Aku bisa menyulam dan menjahit, dan aku bisa memasak."
"Bagaimana dengan membaca dan menulis?"
"Kita akan belajar bersama-sama. Bagaimana dengan membuat puisi?"
"Aku tidak pernah belajar cara membuatnya."
"Benar. Kau harus mempelajari semua itu dan sedikit lebih banyak di bagian ini."
"Itu bagus," kata Halima bahagia. "Aku selalu ingin belajar hal."
"Kau harus tahu bahwa kita menerapkan disiplin ketat ketika pelajaran sedang berlangsung. Tidak terkecuali denganmu. Dan, perlu kuingatkan padamu tentang satu hal. Jangan bertanya tentang hal-hal yang tidak terkait langsung dengan pelajaranmu."
Miriam berbicara kepada Halima dengan nada yang lebih serius dan keras dari hari sebelumnya. Namun, dia merasakan bahwa gadis yang lebih tua itu menyukainya. "Aku berjanji akan mematuhimu dalam segala hal dan aku akan melakukan segala sesuatu seperti yang kau katakan," katanya.
Halima bisa merasakan bahwa Miriam lebih disukai di antara yang lain. Hal itu menumbuhkan rasa ingin tahunya, tapi dia tidak berani untuk mengajukan pertanyaan.
Sarapan mereka kali ini adalah susu dan kue-kue manis yang dibuat dengan buah kering dan madu. Kemudian, mereka masing-masing diberi jeruk.
Pelajaran dimulai setelah sarapan. Mereka pergi ke ruang dengan langit-langit kaca dan kolam indah yang dikagumi Halima sehari sebelumnya. Mereka masing-masing duduk di bantal yang disusun melingkar, masing-masing membawa papan tulis kecil hitam yang ditumpukkan di atas kaki silang mereka. Mereka sudah menyiapkan pensil dari batu tulis sambil menunggu saat untuk menulis. Miriam menunjuk tempat Halima untuk duduk dan menyerahkan alat tulisnya.
"Gunakan alat tulis itu seperti yang lain lakukan, meskipun kau belum tahu bagaimana menulis. Aku akan mengajarkan nanti, tetapi untuk saat ini, setidaknya kau bisa menggunakan papan menulis dan pensil."
Lalu Miriam pergi ke pintu dan memukul gong dengan palu yang digantung di dinding. Seorang Moor memasuki ruangan sambil memegang sebuah buku tebal. Dia mengenakan celana panjang bergaris-garis pendek dan jubah panjang yang mencapai kakinya. Kakinya beralaskan sandal polos, sedangkan kepalanya dililit sorban merah tipis. Dia meletakkan bandannya ke bantal yang disiapkan untuknya dan duduk menghadap gadis-gadis, dengan berat badannya bertumpu di lutut.
"Hari ini, merpati-merpati kecil manisku, kita lanjutkan dengan ayat-ayat Alquran," katanya, sambil menyentuhkan dahinya ke buku. "... saat Nabi berbicara tentang kebahagiaan di akhirat dan kenikmatan surga. Aku melihat seorang bermata inda dengan gairah luar biasa untuk belajar, haus pengetahuan dan berjiwa riang. Sehingga tidak ada setetes kebijaksanaan dan ilmu suci yang menghindar darinya. Mari kita sambut, Fatima, seorang yang berpikiran jernih dan cerdas, ulangi dan tafsirkan apa yang dilakukan Adi si tukang kebun sejauh ini sehingga ia berhasil menanam dan memupuk hati kecilmu."
Ini adalah Adi yang sama, yang telah membawanya ke taman ini kemarin. Halima segera mengenali suaranya. Sepanjang Adi berbicara, Halima sekuat tenaga menolak dongan untuk tertawa.
Fatima mengangkat dagu bulatnya yang indah untuk melihat gurunya dan mulai membaca dengan suaranya yang manis, yang hampir mirip nyanyian.
adi memujinya. Lalu, ia membacakan bagian lain dengan penjiwaan. Ketika ia selesai, ia berkata kepada Halima, "Jadi, rusa betinaku, yang tangkas dan bersemangat untuk belajar, apakah kau sudah mendengar dari teman-teman atau kakakmu tentang keahlianku, yang sudah tertanam di sanubari kami di balik mata bidadari ni dan dipelihara dengan subur? Kau juga harus menghapus semua sifat kekanak-kanakan dari hati dan mendengarkan dengan seksama pelajaran suci seperti apa yang coba aku ungkap kepadamu, sehingga kau bisa mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat."
Kemudian dia mulai mendikte perlahan, kata demi kata, sebuah bab baru dari Alquran. Suara decit goresan kapur yang ditulis di atas papan tulis terdengar. Perlahan, bibir gadis–gadis diam-diam mengulangi apa yang tangan mereka tulis.
Pelajaran berakhir. Halima menahan nafasnya. Perasaan aneh menghinggapinya. Setiap detail pelajaran seakan begitu konyol dan aneh, seolah-olah tidak ada yang nyata.
Moor itu berdiri sambil menyentuhkan dahinya ke buku, dan menghormat tiba kali. Ia kemudian berkata, "Gadis cantik, muridku yang rajin, terampil, dan cekatan, cukuplah dirimu belajar dan mendengarkan hal-hal bijak untuk saat ini. Apa yang kau dengar dan tulis di papan tulismu, sekarang harus kau simpan pada ingatanmu dan perlu kau pelajari secara menyeluruh dengan hati. Ketika kau melakukannya, kau juga harus membimbing burung kecil ini, teman barumu, dengan cara belajar yang baik dan mengubah ketidaktahuannya menjadi tahu." Dia tersenyum, deretan gigi putih bersinar terang. Dia memutar matanya dengan cara yang luar biasa, meninggalkan ruang sekolah dengan hormat.
#To-be-continue
–**Credit**--
Ditulis pada : Senin, 27 November 2023
Halaman : 23 - 25