Alamut Stories - Part 5

Projek Alamut
3 min readNov 26, 2023

--

"Betapa menyedihkan, ternyata kau telah mengalami banyak hal berat," kata Halima sambil membelai pipinya penuh kasih.

Fatima bertanya, "Apakah kau menjadi istri tuanmu?"

Halima tersipu. "Tidak. Maksudku, aku tidak tahu. Apa maksudmu?"

"Jangan mengusiknya dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Fatima," potong Miriam. "Tidakkah kau lihat dia masih anak-anak?"

"Oh, apa yang terjadi padaku adalah hal buruk," kata Fatima, mendesah.

"Kerabatku dijual kepada petani. Usiaku hampir sepuluh tahun ketika aku haus menjadi istri petani. Namun karena si petani mempunyai hutang, karena tidak bisa membayar, dia memberikanku untuk membayar kepada kreditur, tapi dia tidak mengatakan kepada si kreditur bahwa aku sudah menjadi istrinya. Jadi, majikan baruku memanggilku dengan berbagai macam nama kasar, memukulku dan menyiksaku, dan berteriak bahwa petani dan aku telah menipunya. Dia bersumpah demi semua martir bahwa ia akan menghancurkan kami berdua. Aku tidak mengerti semua itu. Tuanku adalah seorang tua dan buruk rupa, sehingga membuatku selalu ketakutan di hadapannya seolah-olah dia adalah roh jahat. Dia membiarkan kedua mantan istrinya memukuliku. Lalu ia menemukan istri keempat yang membuatnya menjadi manis, tapi perlakuannya kepada kami malah semakin menjadi. Akhirnya, kami diselamatkan oleh pemimpin salah satu kafilah Sayyidina, yang membeliku untuk ditempatkan di taman ini."

Halima menatapnya dengan mata berkaca-kaca, kemudian dia tersenyum dan berkata, "Lihat, pada akhirnya kau datang ke sini, dan semuanya baik-baik saja."

"Cukup semua dongeng itu untuk saat ini," sela Miriam.

"Hari akan segera gelap. Kau lelah, sedangkan kami memiliki pekerjaan yang harus dilakukan besok. Ambil tongkat ini dan cuci mulutmu dengan ini."

Benda yang ia serahkan adalah tongkat kecil tipis dengan sikat kecil mirip serat di salah satu ujungnya. Halima cepat mengerti fungsinya. Mereka membawakannya piring dengan air didalamnya, dan ketika dia selesai, mereka membawanya ke kamar tidur.

"Sara dan Zainab akan menemuimu," kata Miriam.

"Baik," jawab Halima.

Lantai kamar tidur ditutupi dengan karpet lembut berwarna-warni. Karpet itu menutupi dinding dan digantung antara tempat tidur rendah, yang ditutupi dengan bantal bordir yang indah. Di samping setiap tempat tidur meja rias terdapat ukiran berseni juga cermin emas berbentuk bengkok tergantung dari langit-langit.

Gadis-gadis memakaikan Halima sebuah gaun putih panjang dari sutra halus. Mereka mengikatkan tali merah di pinggang dan mendudukkannya di cermin. Dia bisa mendengar mereka berbisik-bisik tentang betapa manis dan cantiknya dia.

Mereka benar, pikirnya, aku benar-benar cantik seperti seorang putri sejati. Halima berbaring di tempat tidurnya dan gadis-gadis meletakkan bantal di bawah kepalanya. Mereka menutupi tubuhnya dengan selimut bulu dan kemudian pergi dengan berjingkat. Halima kemudian membenamkan kepalanya di bantal lembut dan dalam kebahagiaan, ia tertidur dengan nyenyak.

Sinar pertama siang hari yang menembus jendela, membangunkannya. Halima membuka matanya dan menatap desain pada hiasan dinding: tenunan dalam warna-warna cerah. Pada awalnya dia pikir dirinya masih bersama kafilah. Di dinding, ia melihat seorang pemburu yang dengan tombaknya sambil menunggang kuda mengejar antelop. Di bawahnya, seekor harimau dan seekor kerbau berhadapan, sementara seorang pria kulit hitam yang membawa perisai mengarahkan ujung tombaknya ke arah singa yang mengamuk. Di samping mereka, macan tutul terlihat mengintai seekor rusa. Kemudian, ia teringat hari kejadian sebelumnya dan menyadari di dimana ia berada.

"Selamat pagi, tukang tidur." Zainab yang baru saja bersandar di tempat tidur memanggilnya.

Halima menatapnya dan tercengang. Rambut Zainab digerai di atas bahunya: bersinar di bawa sinar matahari seperti emas murni. Dia lebih indah dari peri, pikir Halima, terpesona.

Dia memandang ke arah tempat tidur lainnya, dimana Sara sedang tidur: setengah telanjang, tungkai hitamnya bersinar seperti eboni. Percakapan itu ternyata membangungkannya juga, dan ia perlahan-lahan mulai membuka matanya. Mata itu berkilauan seperti dua bintang yang menyinarkan cahaya gelap dan putih. Matanya terus menatap Halima, dan duduk di atasnya.

"Tadi malam ketika Zainab dan aku pergi tidur, kau tidak menyadari kehadiran kami," katanya. "Kami menciummu, tapi kau hanya menggumamkan sesuatu dan membalik punggung."

Halima tertawa, meskipun ia hampir takut dengan tatapan yang lain. "Aku sama sekali tidak mendengarmu," jawabnya.

Zainab yang sudah duduk di depan cermin, menyisir rambutnya. "Kami akan mencucikan rambutmu," kata Sara ke Halima. "Maukan kau membiarkanku mencuci rambutmu?"

#To–be-continue

Previous | Next

–**Credit**--

Ditulis pada : Minggu, 26 November 2023

Halaman : 20 - 22

--

--

Projek Alamut
Projek Alamut

No responses yet