Alamut Stories - Part 4

Projek Alamut
4 min readNov 25, 2023

--

"Istirahatlah di sini untuk sementara waktu. Aku akan pergi melihat apa yang gadis-gadis telah siapkan untuk kau makan."

Dia kemudian membelai pipi Halima dengan lembut. Pada saat itu, mereka berdua merasa bahwa mereka saling menyukai. Halima tiba-tiba dan secara naluriah mencium jari pelindungnya itu. Miriam tampak cemberut padanya, tapi Halima bisa menyakinkan diinya bahhwa dia tidak benar-benar keberatan. Halima tersenyum bahagia.

Halima merasa kelelahan. Dia menutup matanya. Untuk sementara dia menolak tidur, tapi segera ia berkata pada dirinya sendiri, Aku akan bisa melihat semuanya lagi dalam waktu singkat, dan kemudian dia tertidur.

Ketika pertama kali terbangun, Halima tidak tahu dimana dia berada atau apa yang telah terjadi padanya. Dia menyingkirkan selimut yang gadis-gadis itu gunakan untuk menutupinya saat dia tidur, dan kemudian duduk di tepi dipan. Dia mengusap matanya, lalu menatap wajah perempuan muda di depannya yang diterangi lampu warna-warni. Hari sudah sore. Miriam berjongkok di atas bantal di sampingnya dan menawarinya susu dingin, yang segera Halima habiskan dengan akus.

Miriam menuangkan susu dari kendi berwarna-warni, dan Halima meminumnya dalam sekali teguk.

Seorang gadis berkulit gelap membawa nampan emas, mendekati dan menawarinya berbagai permen yang terbuat dari tepung, madu, dan buah. Halima makan segala sesuatu di hadapannya dengan lahap.

"Lihat betapa lapa dia, si anak yatim," kata salah satu gadis.

"Dan betapa pucat dirinya," yang lain mengamati.

"Mari kita memberinya pemulas pipi dan bibir," saran seorang gadis berambut terang yang indah.

"Anak itu harus makan dulu!" Miriam menolak mereka. Dia berbalik kepada gadis hitam dengan baki emas. "Kupaskan pisang atau jeruk untuknya, Sara."

Kemudian ia bertanya kepada Halima, "Buah apa yang kau inginkan?"

"Aku tidak tahu salah satu dari buah itu. Aku ingin mencoba keduanya."

Gadis-gadis tertawa. Halima juga tersenyum ketika Sara membawakannya pisang dan jeruk.

Halima segera dihinggapi dengan begitu banyak rasa yang lezat. Dia menjilat jarinya dan berkata, "Aku belum pernah merasakan makanan selezat ini sebelumnya."

Gadis-gadis tertawa terbahak-bahak. Bahkan sudut-sudut mulut Miriam tersenyum saat ia melihat pipi Halima. Halima bisa merasakan darah mulai mengalir dalam pembuluh darahnya lagi. Matanya bersinar. Suasana hatinya membaik, dan ia mulai berbicara secara terbuka.

Gadis-gadis duduk di sekelilingnya, beberapa orang terlihat sedang membordir, sedangkan yang lain menjahit, dan mereka mulai mengajukan pertanyaan kepadanya. Sementara itu, Miriam telah memegang cermin logam di tangannya dan mulai merias pipi dan bibirnya dengan perona pipi dan alis serta bulu mata dengan pewarna hitam.

"Jadi, namamu Halima," kata gadis berambut pirang, orang yang telah menyarankan Halima merias pipinya. "Dan namaku Zainab,"

"Zainab adalah nama yang indah," kata Halima. Mereka tertawa lagi.

"Dari mana asalmu?" Gadis berkulit hitam yang dipanggil Sara bertanya.

"Dari Bukhara."

"Aku dari sana juga," kata gadis cantik berwajah bulat berbentuk bulan dan besar seperti dahan. Dia memiliki dagu bulat yang lucu dan mata sayu yang hangat. "Namaku Fatima. Siapa tuanmu sebelum ini?"

Halima hendak menjawab, tapi Miriam, yang sedang memulas bibirnya, menghentikannya. "Tunggu sebentar. Dan kalian semua… berhenti mengganggu dia"

"Siapa tuanku?" ulang Halima ketika Miriam selesai memulas bibirnya, melanjutkan pembicaraan. "Pedagang Ali, seorang pria tua yang baik?" tanya Zainab.

"Dia tidak punya uang. Dia telah kehilangan semua uangnya. Kami bahkan tidak memiliki apa-apa lagi untuk dimakan. Dia memiliki dua anak perempuan yang kemudian dinikahkan.

Namun, pelamar mereka menipunya dan membawa kabur keduanya. Mereka tidak membayar apa-apa padanya. Dia memiliki seorang putra, tapi ia menghilang, mungkin dibunuh oleh perampok atau tentara." Mata Halima berkaca-kaca. "Aku seharusnya menjadi istrinya."

"Siapa orang tuamu?" tanya Fatima.

"Aku tidak pernah tahu mereka dan aku tidak tahu apa-apa tentang mereka. Sejauh yang aku ingat, aku tinggal di rumah pedagang Ali. Ketika anaknya masih di rumah, hidup kami baik-baik saja. Tapi kemudian saat-saat buruk datang. Tuanku akan berkeluh kesah sambil menarik rambutnya, dan kemudian berdoa. Istrinya menyuruhnya untuk membawaku ke Bukhara dan menjualku di sana. Dia kemudian membawaku dengan keledai, dan kami pun pergi ke Bukhara. Sesampainya disana, dia terus bertanya kepada semua pedagang di mana mereka biasanya menjual orang sepertiku dan kepada siapa aku bisa dijual, sampai ia bertemu orang yang bekerja untuk tuanmu. Ia bersumpah atas nama janggut Nabi bahwa aku akan diperlakukan seperti seorang putri. Ali kemudian menetapkan harga, dan ketika mereka membawaku pergi, ia mulai menangis dengan suara keras. Begitu pula aku. Tapi, sekarang aku tahu bahwa pedagang itu benar. Aku benar-benar merasa seperti seorang putri di sini."

Gadis-gadis itu saling melirik dan tersenyum.

"Tuanku menangis, juga, ketika ia menjualku," kata Zainab.

"Aku tidak terlahir sebagai seorang budak. Ketika aku masih kecil, beberapa orang Turki menculikku dan membawaku ke tanah penggembalaanya. Di sana, aku belajar untuk menaiki kuda dan menembak dengan busur dan anak panah seperti anak laki-laki. Mereka semua penasaran karena aku memiliki mata biru dan rambut keemasan. Orang-orang akan datang dari jauh untuk melihatku. Mereka mengatakan bahwa jika kepala-kepala suku yang berkuasa mengetahui keberadaanku, mereka mungkin akan membeliku. Namun tentara Sultan kemudian datang dan membunuh tuanku. Aku berusia sekitar sepuluh tahun pada saat itu. Kami mundur untuk menghindari tentara Sultan, karena kami sudah kehilangan banyak orang dan persediaan makanan. Putra tuanku kemudian mengambil alih kepemimpinan suku. Dia jatuh cinta padaku dan membawaku ke tempat selir-selirnya, kemudian menjadikanku istrinya. Namun Sultan mengambil semuanya dari kami, dan membuat Tuanku gusar. Dia memukuli kami setiap hari, tapi ia menolak untuk tunduk kepada Sultan. Lalu, kepala suku berdamai. Pedagang datang dan mulai perdagangan. Suatu hari, seorang Armenia melihatku dan mulai menanyakan tentangku pada Tuanku. Dia menawarkan makanan dan uang untuk membeliku. Akhirnya mereka berdua datang ke tenda. Ketika Tuanku melihatku, ia menarik belati dan mencoba menikamku, dengan maksud agar ia dapat menghilangkan godaan untuk menjualku. Tapi si pedagang menahannya, dan kemudian mereka bersepakat untuk menjualku. Aku piki aku akan mati. Si orang Armenia membawaku ke Samarkand. Dia orang yang memuakkan. Di sanalah dia menjualku ke Sayyidina. Tapi semua itu sudah lama berlalu…"

#To-be-continue

Previous | Next

–**Credit**--

Ditulis pada : Sabtu, 25 November 2023

Halaman : 16 - 19

--

--

Projek Alamut
Projek Alamut

No responses yet