Alamut Stories - Part 2

Projek Alamut
6 min readNov 23, 2023

--

Mereka bepergian dengan cara ini sampai jauh malam. Akhirnya mereka membuat kamp di sebuah lembah kecil. Mereka membuat api, bergegas menyelesaikan makan, dan kemudian tertidur seperti orang mati.

Ketika fajar tiba, mereka kembali meneruskan perjalanan. Pemimpin karavan mendekati selter, yang telah dilepas kusir dai punggung unta malam sebelumnya dan diletakkan di tanah. Dia membuka tirai samping dan berseru dengan suara kasar, "Halima!"

Wajah mungil yang ketakutan muncul di jendela. Kemudian, pintu yang rendah dan sempit itu terbuka. Tangan besar pemimpin karavan meraih gadis itu dengan pergelangan tangannya dan menariknya keluar dari penampungan.

Seluruh tubuh Halima gemetar. Mati aku, pikirnya. Pemimpin orang-orang asing yang telah bergabung dengan karavan hari sebelumnya memegang perban hitam di tangannya. Pemimpin karavan memberikan isyarat kepadanya. Tanpa banyak kata-kata, ia menempatkan saputangan di atas mata gadis itu dan mengikatnya erat-erat di bagian belakang kepalanya. Kemudian, ia menaiki kudanya, menarik gadis itu ke pelana dengannya, dan menutupi tubuhnya dengan jubah yang besar. Dia dan pemimpin karavan betukar kata, kemudian ia memacu kudanya. Halima meringkuk dan menempel ketakutan karenanya.

Si pengendara kuda berhenti sejenak untuk berbicara dengan seseorang. Ia lalu memacu kudanya lagi. Tapi kemudian, ia berjalan lebih lambat dan hati-hati. Halima berpikir bahwa jalan yang mereka lewati pastilah sangat sempit dan mengarah ke sepanjang tepi sungai di gunung. Udara dingin menyeruak dari bawah, dan rasa takut sekali lagi meluap di hatinya.

Mereka berhenti lagi. Halima mendengar teriakan dan dentingan, dan ketika mereka berpacu lagi, terdengar gemuruh kuku kuda. Mereka menyeberangi jembatan di atas jeram.

Peristiwa yang kemudian terjadi tampak seperti mimpi buruk yang mengerikan. Dia mendengar teriakan keributan, seolah-olah seluruh pasukan sedang bertengkar. Si pengendara kuda turun tanpa membiarkan Halima keluar dari jubahnya, berlari sampai ditelan kegelapan. Tiba-tiba Halima merasa tangan orang lain memegangnya. Dia bergidik ngeri, seola nyawanya terenggut. Orang yang telah mengambilnya dari si penunggang kuda itu tertawa pelan. Dia membawanya ke bawah koridor. Tiba-tiba rasa dingin yang aneh menyelimutinya, seperti mereka telah memasuki ruang bawah tanah. Halima mencoba untuk tidak berpikir, tetapi tidak berhasil. Dia merasa yakin dirinya merasa semakin dekat pada saat terakhir.

Pria yang memeluknya menemukan beberapa benda dan mendorongnya. Gong bergema keras. Halima berteriak dan mencoba untuk membebaskan diri dari lengan pria itu. Pria itu hanya tertawa dan berkata dengan setengah ramah, "Jangan meratap, Merak Kecil. Tidak ada yang akan menyentuhmu."

Halima sekali lagi melihat cahaya berkedip melalui celah penutup matanya. Mereka akan memenjarakanku, pikirnya. Arus menderu di bawahnya saat ia menahan napas.

Dia mendengar langkah kaki telanjang. Seseorang mendekat, dan orang yang memeluknya menyerahkannya pada orang itu.

"ini dia, Adi," katanya.

Sosok yang membawanya sekarang adalah lengan telanjang sekuat singa. Dada orang itu pasti telanjang juga. Dia pastilah seorang raksasa.

Halima dipertemukan dengan nasibnya. Mulai saat itu, ia memperhatikan apa yang terjadi padanya tapi tidak memberikan perlawanan. Sambil membawanya, pria itu berlari melintasi jembatan penyeberangan yang berayun terombang-ambing karena pengaruh berat badan mereka. Kemudian, tanah mulai bergetar di bawah kakinya. Dia bisa merasakan kehangatan menyenangkan dari sinar matahari dan cahaya yang menembus penutup matanya. Dan, tiba-tiba tercium bau segar tumbuh–tumbuhan dan wangi bunga yang entah dari mana datangnya.

Pria itu melompat ke perahu, menyebabkan perahu berguncang hebat. Halima menjerit dan mencengkeram si raksasa. Pria itu berkata dengan nada tinggi, hampir seperti tawa anak-anak kemudian berkata ramah, "Jangan khawatir, Little Gazelle. Aku akan membawamu ke tempat aman, dan kemudian kita akan pulang ke rumah. Duduklah di sini."

Pria itu kemudian mendudukannya di tempat yang nyaman dan mulai mendayung.

Halima merasa mendengar tawa di kejauhan, tawa ringan, genit. Dia mendengarkan dengan saksama. Tidak, dia tidak salah. Dia bisa menebak suara itu. Setelah mendengar tawa itu, ia merasa seolah-olah beban terangkat dari hatinya. Mungkin tidak ada akan hal buruk menantinya.

Perahu mencapai pinggir pantai. Pria itu membawanya ke dalam pelukannya dan melangka ke tempat kering. Ia membawanya beberapa langkah naik dan kemudian menurunkan kedua kaki Halima. Suara keributan keras mengelilingi mereka dan Halima mendengar banyak suara sandal mendekat. Si raksasa tertawa dan berseru. "Ini dia."

Lalu, dia kembali ke perahu dan mendayung kembali.

Salah seorang gadis mendekati Halima untuk melepas penutup matanya, sementara gadis yang lain saling berbicara satu sama lain.

"Lihat betapa kecil dia," kata salah satu gadis.

Gadis yang lain menambahkan, "Dan betapa dia masih sangat muda. Dia masih seorang anak."

"Lihatlah betapa kurusnya dia," kata gadis ketiga. "Itu pasti akibat perjalanan yang ia lakukan."

"Dia tinggi dan ramping seperti cemara."

Penutup mata terlepas dari mata Halima. Dia tercengang. Taman yang seakan tak berujung di awal musim semi terhampa sejauh mata memandang. Gadis-gadis di sekelilingnya lebih cantik dari bidadari. Gadis yang paling cantik dari mereka semua-lah yang membuka penutup matanya.

"Di mana aku?" tanyanya dengan suara takut-takut.

Gadis–gadis itu tertawa, seakan geli oleh suara gemetarnya. Halima tersipu. Gadis cantik yang membuka penutup mata Halima memeluk pinggangnya dengan lembut dan berkata, "Jangan khawatir anak manis. Kau berada di antara orang-orang baik."

Suaranya hangat dan melindungi. Pelukan gadis itu semakin mendekatkan Halima, sementara pikiran konyol menghinggapi kepala Halima. Mungkin aku akan dibawa ke beberapa pangeran, pikirnya dalam hati.

Mereka membawa Halima ke sepanjang jalan yang dipenuhi kerikil putih, bulat. Dari kanan ke kiri, tempat tidur bunga ditata secara simetris, penuh dengan bunga tulip yang mekar dan bakung dari semua ukuran dan warna. Beberapa tulip berwarna kuning terang, sedangkan yang lain merah atau ungu, selain beraneka ragam, atau berbintik-bintik. Ada juga enceng gondok berwarna putih dan merah muda pucat, terang dan biru gelap, ungu pucat dan kuning muda. Beberapa dari mereka ada yang halus dan transparan, seperti terbuat dari kaca. Bunga anggrek dan bunga berwarna kuning muda tumbuh di perbatasan. Di tempat lain, tunas bunga iris dan dafodil tumbuh. Di sana-sini bunga bakung yang megah membuka kelopak pertamanya. Udara sejuk tercium dengan bau semerbak. Halima takjub.

Mereka berjalan melewati kebun mawar. Terlihat semak-semak yang telah dipangkas dengan rapi, terlihat pula tunas gemuk di cabang-cabang. Beberapa dari mereka sudah menjadi bunga merahh, puti , dan kuning.

Jalan yang akan mereka lalui masih jauh, melalui perkebunan delima yang dipadati dengan bunga-bunga merah. Mereka kemudian melewati barisan pohon lemon dan persik. Sampai akhirnya mereka tiba di kebunnn almond dan quince, apel dan pir.

Halima membuka mata lebar-lebar.

"Siapa namamu, gadis kecil?" salah seorang gadis bertanya.

"Halima," bisiknya hampir tanpa suara.

Mereka menertawakan Halima, sampai-sampai hampi menitikkan air mata.

"Berhenti tertawa, dasar monyet nakal!" pelindung Halima yang menghardik mereka. "Tinggalkan dia sendirian. Biarkan dia beristirahat. Dia lelah dan bingung."

Pelindung Halima berkata kepada Halima, "Jangan salah menilai tindakan mereka. Mereka masih muda dan cerewet. Ketika kau mengenal mereka lebih dekat, kau akan tahu sebenarnya mereka tidak bermaksud buruk. Mereka akan sangat menyukaimu."

Mereka mendatangi pepohonan cemara. Halima mendengar guyuran air bersahutan dari semua sisi. Di suatu tempat yang jauh, air bergemuruh, membuat jeram yang mengalir ke air terjun. Sesuatu berkilat terlihat melalui sela-sela pepohonan. Halima penasaran. Ia kemudian melihat sebuah kastil kecil di tempat terbuka, yang terlihat berwarna putih di bawah terpaan sinar matahari. Kastel itu dibatasi oleh kolam melingkar dengan air mancur. Mereka berhenti di tempat itu dan Halima melihat sekeliling.

Di semua sisi, tempat mereka berada dikelilingi oleh pegunungan tinggi. Matahari hilang di bawah lereng berbatu dan menerangi puncak berselimut salju. Halima melihat ke arah asal mereka datang. Di antara dua lereng terbentuk ngarai di ujung lembah tempat mereka berdiri, sebuah batu besar yang menyerupai gunung terlihat seolah-olah sengaja dirancang untuk jatuh ke dalamnya. Diatasnya berdiri sebuah benteng perkasa yang bersinar putih ketika terkena matahari pagi.

"Apa itu?" tanya Halima takjub dan tercengang, menunjuk ke arah dinding dengan dua menara tinggi di kedua ujungnya.

Pelindungnya menjawabnya, "Akan ada cukup waktu untuk menjawab pertanyaan itu nanti. Kau lelah, dan pertama-tama kau bisa mandi, makan, dan beristirahat."

Secara bertahap, ketakutan Halima hilang dan ia mulai mengamati pengawalannya dengan saksama. Pengawalnya itu sekarang terlihat lebih memesona dan berpakaian lebih baik daripada sebelumnya. Sutra pada celana mereka yang besar, berdesir saat mereka berjalan. Setiap gadis mengenakan warna unik yang cocok dengan mereka. Baju mewah berbordir yang dihiasi dengan gesper emas, bermandikan batu permata yang berkilau indah. Setiap penjaga memakai banyak gelang pada pergelangan tangan dan juga kalung mutiara atau koral. Beberapa orang berjalan tanpa penutup kepala, sementara yang lain mengenakan sapu tangan yang melilit kepala mereka seperti sorban kecil. Sandal mereka terbuat dari kulit berwarna yang diukir dengan artistik. Halima memperhatikan pakaian yang dikenakannya dan merasa malu. Mungkin inilah kenapa mereka tadi menertawaiku, pikirnya.

Mereka mendekati kastel. Kastel itu berbentuk bulat dan dikelilingi olah tangga batu putih yang mengarah ke pintu masuk. Atapnya disangga oleh banyak kolom yang mengingatkan pada bentuk kuil kuno.

Seorang wanita tua muncul dari kastel. Dia tinggi kurus seperti tiang dengan pembawaan tegap dan, tampaknya, bangga. Dia berkulit gelap dengan pipi cekung. Matanya besar dan gelap, sedangkan bibir tipis mengatupnya memberikan kesan sifat keras kepala dan tegas.

#To-be-Continue
Previous | Next

–***Credit***--

Ditulis pada : Kamis, 23 November 2023

Halaman : 7 - 12

--

--

Projek Alamut
Projek Alamut

No responses yet